Saturday, March 19, 2011

Desa Mandiri Energi Bohong- bohongan

 


 


 


 


 


 


 


Penggerak petani jarak di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Suhari, Kamis (3/3), memperlihatkan bantuan yang diterima sebanyak tiga kompor berbahan bakar nabati. Kompor kanan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kompor tengah dari Protos, dan kompor kiri dari Perhutani. Ketiga kompor itu kini tak berfungsi tanpa ada minyak nabati.


”Desa Mandiri Energi itu program bohong- bohongan,” ujar Suhari, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Tanjung Harjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Suhari, pekan lalu, menunjukkan tiga kompor berbahan bakar minyak jarak di gudang rumahnya. Beberapa gerumbul pohon jarak yang dulu diharapkan hasilnya hanya menjadi penghias pagar rumah. Itulah sisa program Desa Mandiri Energi (DME) yang dicanangkan meriah tahun 2007.

Program DME diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Februari 2007 di Kabupaten Grobogan. Tanaman jarak sebenarnya cukup dikenal masyarakat Grobogan, banyak dibudidayakan ketika Jepang menguasai Indonesia.

Grobogan diharapkan menjadi percontohan program nasional pemanfaatan jarak pagar untuk bahan bakar nabati. Selain menyampaikan bantuan pengembangan sebesar Rp 10 miliar dan kompor secara simbolis, Presiden juga sempat mencicipi tempe dan tahu goreng yang dimasak dengan kompor berbahan bakar minyak jarak.

Kriteria desa mandiri energi adalah mampu memenuhi sendiri 60 persen kebutuhan energi untuk memasak, transportasi, dan listrik. Tanaman jarak (Jatropha sp) dipilih sebagai sumber bahan bakar nabati dengan pertimbangan bisa bertahan hidup di lahan kritis dan tidak bersaing dengan keperluan pangan.

Kecewa

Untuk mendukung program DME, di Grobogan lalu berdiri pabrik pengolahan biji jarak yang dikelola PT Energi Hijau Lestari (Enhil). Enhil menggandeng PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebagai pembeli siaga (offtaker) minyak jarak petani Kecamatan Ngaringan.

Menurut Suhari, awalnya kelompok tani di desa itu antusias menanam, tetapi kemudian kecewa karena buahnya jarang meski tanaman subur. ”PT Enhil sempat membeli jarak petani, tetapi cuma Rp 700 per kilogram dari janji Rp 1.500,” kata Suhari.

Setelah beberapa bulan pabrik berhenti beroperasi. Masyarakat tidak pernah mendapat informasi jelas dari pabrik. Suhari mengatakan, sempat ada pendampingan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Grobogan dan kemudian dari PT Pertamina.

”Pernah ada petugas lapangan dari Pertamina, tetapi tidak memberikan penyuluhan yang benar. Buktinya, buah jarak tetap tidak ada hasilnya. Sekarang tanaman sudah tidak ada. Sementara masyarakat tahunya ada dana Rp 10 miliar. Masih banyak yang datang menanyakan, padahal kelompok tani hanya sekali mendapat bantuan Rp 83 juta,” tutur Suhari.

Marsiul, Komisaris PT Enhil, mengatakan, pabrik tutup karena inkonsistensi pemerintah dan BUMN yang terkait dengan program itu. ”Dulu pabrik dibangun atas dasar kerja sama dengan RNI sebagai offtaker. Katanya, mereka mau pakai minyak jarak untuk menggantikan blothong dan solar sebagai bahan bakar pabrik gulanya. Eh, ternyata program mereka tidak lanjut,” kata Marsiul.

Mantan Manajer Program Kemitraan Bina Lingkungan PT Pertamina Rudi Sastiawan menceritakan, dana Rp 10 miliar itu berasal dari patungan tiga BUMN: Pertamina, PT RNI, dan PT Perusahaan Gas Negara (PGN). ”Biasalah, kalau ada kunjungan Pak SBY, harus ada sumbangan ke masyarakat. Waktu itu yang ditanya Pertamina, PGN, dan RNI. Akhirnya Pertamina menyumbang Rp 9,9 miliar, PGN dan RNI masing-masing Rp 50 juta, jadi total Rp 10 miliar,” ujar Rudi.

Dana tersebut semula akan diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi akhirnya PT Pertamina melanjutkan sendiri program bahan bakar nabati dengan mendirikan pabrik biodiesel di Kecamatan Toroh, Grobogan. Dari dana Rp 10 miliar itu, sekitar Rp 4 miliar digunakan untuk membangun pabrik, Rp 3,7 miliar untuk bibit, dan Rp 2,1 miliar untuk pelatihan petani.

Wartono, mantan pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan Dusun Ngrijo, Kelurahan Jatipohon, Kabupaten Grobogan, merasakan juga kekecewaan masyarakat atas pelaksanaan program pemanfaatan jarak untuk bahan bakar nabati. Ketika panen, jarak hanya dihargai Rp 1.100 per kilogram, jauh lebih murah dibandingkan jagung yang Rp 2.000. ”Masyarakat merasa dibohongi. Setelah itu kontan minat menanam langsung turun,” ujar dia.

Anggota kelompoknya, yang semula 200 orang, sekarang tersisa tiga orang. Tinggal Wartono yang masih percaya pada prospek jarak, terutama jika dikelola dengan sistem tumpang sari.

Potensi besar

Meski minat petani sudah surut, potensi tanaman jarak di Kabupaten Grobogan masih sangat besar. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Jawa Tengah mencatat, tanaman jarak di Jawa Tengah mencapai 3.330,71 hektar.

Tak heran apabila justru perusahaan swasta yang berlomba mencari biji jarak langsung ke petani. Minyak jarak di luar negeri digunakan sebagai minyak goreng, sabun, dan kosmetik. PT Waterland Asia Bio Ventures memiliki pabrik di Desa Danyang, Kecamatan Purwodadi. Adapun PT D1 Oils Interna- tional yang mengambil alih pabrik milik PT Enhil berencana memindahkan pabrik ke Dusun Ngrijo.

Petugas pembelian PT D1 Oils Indonesia, Edy Tegoeh Joelijanto, mengatakan, pihaknya mulai membeli jarak dari petani yang mengolah lahan milik Perhutani dan berbicara dengan sejumlah kepala kesatuan pemangkuan hutan Perhutani untuk menjajaki kerja sama.

Ia paham, perlu waktu cukup lama untuk meyakinkan petani yang kecewa berat dengan janji pemerintah dulu. ”Mereka disuruh menanam, tapi pasarnya tidak disiapkan. Begitu pabrik tutup, ya bubar,” kata Teguh.

Setiap biji jarak kering yang terkumpul menumbuhkan harapan kembalinya kepercayaan masyarakat bahwa tanaman jarak bisa menghasilkan apabila dikelola secara baik dan bukan program kebohongan

0 comments:

Post a Comment